KESEMPURNAAN HIDUP MELALUI BAHASA
PITUTUR
DALAM SERAT WULANGREH
MENURUT SRI SUSUHAN PAKUBUWANA IV
Koentjaraningrat (1990: 2) mengemukakan bahwa bahasa
dan seni merupakan bagian dari unsur kebudayaan yang bersifat universal. Serat
Wulangreh merupakan salah satu karya sastra berisikan tembang. Seperti pada
umumnya karya sastra, isi maupun bentuknya sangat dipengaruhi keadaan
lingkungan pada masa karya itu dihasilkan. Demikian pula dengan Serat
Wulangreh.
Pakubuwana IV adalah raja muda, beliau memiliki
julukan Sinuhun Bagus karena memang terlahir berwajah rupawan. Sri Susuhan
Pakubuwana IV lahir sebagai putra Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat Sinuhun
Pakubuwana III dari permaisuri Kanjeng Ratu Kencana. Nama kecilnya adalah
Bendara Raden Mas Gusti Sumbadya
Beberapa sudut pandang dalam serat wulangreh
mengenai bahasa pitutur yang ditulis oleh Pakubuwana IV, sebagai berikut :
a. Wulangreh dalam Pandangan Holistik
a. Wulangreh dalam Pandangan Holistik
1. Objektif
Secara
objektif wulangreh merupakan karya sastra yang berupa serat wulang. Kandungan
isinya merupakan ajaran, baik ajaran fisik atau jasmani, maupun ajaran rohani
terhadap moral spiritual. Melalui pituturnya Sinuhun PB IV menunjukkan bahwa
manusia sebagai bagian dari kosmos yang harus selalu menjaga keseimbangan, dan
keselarasan dirinya dengan alam. Konsep memayu
hayuning bawana merupakan kesadaran pikir dan sikap. Dalam mewujudkan ide
keutamaan diri pribadi agar sampai pada sang maha pencipta, Penguasa, dan
Pengendali semesta beserta isinya, diperlukan laku olah jiwa, olah raga, dan
olah rasa. Semuanya bertujuan agar manusia bisa mencapai kesempurnaan hidup.
Untuk meraih
kesempurnaan hidup tadi, Sinuhun PB IV mengajarkan pamoring Kawula Gusti. Unen-unen
jawa ini mengajarkan manusia untuk selalu patuh dan taat pada pimpinan, dan
Sang Maha Pencipta. Dalam kehidupan sehari-hari sikap ini diterapkan pada sikap
loyal, bersikap hormat, dan menunjukkan tatakrama, unggah-ungguh yang tepat.dan
pada akhirnya semuanya akan terlihat sing becik ketitik sing ala ketara,
titenana wong cidra mangsa langgenga dan sura dira jayaningrat lebur dening
pangastuti.
2. Genetik
Pada
salah satu bait di pupuh Dhandhanggula PB IV menyampaikan pesannya sebagai
berikut :
Nanging
yen sira ngguguru kaki,
Amiliha
manungsa kang nyata,
Ingkang
becik martabate,
Sarta kang wruh ing kukum,
Kang
ngibadah lan kang wirangi,
Sokur
pleh wong tapa,
Ingkang
wus amungkul,
Tan
mikir awewehing lyan,
Iku
pantes sira guronana kaki,
Sartane
kawruhana,
Pitutur
yang tersurat dan tersirat pada bait di atas menunjukkan bahwa kita sering
tidak memperhatikan sasmita. Manusia cenderung mengikuti hawa nafsunya, penentuan
keputusan lebih dikarenakan mengedepankan kepentingan diri sendiri maupun
kelompoknya. Wajar bila yang terjadi kemudian adalah adanya jarak di antara
pemimpin dengan yang dipimpin. Maka, menurut PB IV berhati-hatilah memilih
pemimpin. Tujuannya adalah agar tercipta suatu harmoni antara pengayom, sebagai
manifestasi dari Hyang Akarya Jagat dengan yang diayomi sebagai perwujudan
kawula.
3. Afektif
Serat
wulangreh, semula memang hanya merupakan wulangan wewaler yang ditujukan pada
putra-putra sinuhun PB IV. Kata-kata beliau di pupuh ke-13 Girisa pada bait
ke-22 sebagai berikut :
Mulane
sun wuruk marang,
Kabeh
ing atmajaningwang,
Sun
tulis sun wehi tembang,
Darapan
padha rahaba,
Enggone
padha amaca,
Sarta
ngrasakken carita,
Aja
bosen denapalna,
Ing
rina wengi elinga,
Beliau
berkeinginan agar para putranya itu berperilaku sebagaimana para leluhurnya.
Ajaran-ajaran beliau hingga kini masih dijadikan pedoman oleh berbagai
kalangan. Meskipun dalam praktiknya sering terjadi pergerseran.
b. Bahasa
Pitutur Wulangreh dari sudut pandang masyarakat umum.
Konteks
tuturan dalam serat wulangreh adalah petuah, atau pitutur yang disampaikan oleh
raja kepada putra-putranya, prajurit, maupun para kawula. Waktunya tentu saja
pada masa Sinuhun Pakubuwana IV bertahta (1788-1820).
Dari
beberapa karya Pakubuwana IV tersebut, Serat Wulangreh merupakan karya yang
sangat terkenal. Wulangreh dapat dimaknai sebagai ajaran untuk mencapai
sesuatu. Sesuatu yang dimaksud dalam karya ini adalah laku menuju hidup harmoni
atau sempurna di dunia dan di akhirat. Beberapa potongan tembang yang
mencerminkan kutipan tersebut, yaitu :
Ngelmu
iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya
pangekese durangkara yang artinya ilmu itu bisa dipahami/dikuasai
harus dengan cara berusaha keras. Kokohnya budi akan menjauhkan diri dari watak
angkara.
Ajaran-ajaran
yang ditulis Pakubuwana IV dalam Serat Wulangreh adalah ajaran moral yang
berlandaskan ajaran islam. Penyampaian ajaran yang ditawarkan PB IV berbentuk
tembang dengan gaya memerintah, menasehati, melarang, dan memberi contoh pada
masyarakat umum.
Namun pada kenyataanya sekarang ajaran-ajaran
yang ditulis oleh Pakubuwana IV sudah jarang ditemui. Sebagai contoh : ajaran
diri dan sikap yang diajarkan PB IV sudah hilang di kalangan masyarakat
sekarang ini. Banyak masyarakat yang memiliki perilaku negatif demi tercapainya
suatu keinginan yang hakiki. Hal ini sangat berlawanan pada ajaran-ajaran yang
ditawarkan Pakubuwana IV dalam Serat Wulangreh tersebut. Bukan hanya itu,
masyarakat pada umumnya tidak sadar akan adanya Sang Pencipta, sehingga
masyarakat banyak yang melakukan hal-hal yang dianggapnya baik, namun pada
kenyataannya tidak baik dan merugikan. Hal ini juga sangat berlawanan pada
ajaran yang telah diberikan oleh Pakubuwana IV dan menghilangkan kebudayaan di
masyarakat ada umumnya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar