Jumat, 04 Juli 2014

Bahasa_Kesempurnaan Hidup Melalui Bahasa Pitutur

KESEMPURNAAN HIDUP MELALUI BAHASA PITUTUR
 DALAM SERAT WULANGREH
MENURUT  SRI SUSUHAN PAKUBUWANA IV

Koentjaraningrat (1990: 2) mengemukakan bahwa bahasa dan seni merupakan bagian dari unsur kebudayaan yang bersifat universal. Serat Wulangreh merupakan salah satu karya sastra berisikan tembang. Seperti pada umumnya karya sastra, isi maupun bentuknya sangat dipengaruhi keadaan lingkungan pada masa karya itu dihasilkan. Demikian pula dengan Serat Wulangreh.
Pakubuwana IV adalah raja muda, beliau memiliki julukan Sinuhun Bagus karena memang terlahir berwajah rupawan. Sri Susuhan Pakubuwana IV lahir sebagai putra Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat Sinuhun Pakubuwana III dari permaisuri Kanjeng Ratu Kencana. Nama kecilnya adalah Bendara Raden Mas Gusti Sumbadya
Beberapa sudut pandang dalam serat wulangreh mengenai bahasa pitutur yang ditulis oleh Pakubuwana IV, sebagai berikut :
  a.  Wulangreh dalam Pandangan Holistik
1.      Objektif
Secara objektif wulangreh merupakan karya sastra yang berupa serat wulang. Kandungan isinya merupakan ajaran, baik ajaran fisik atau jasmani, maupun ajaran rohani terhadap moral spiritual. Melalui pituturnya Sinuhun PB IV menunjukkan bahwa manusia sebagai bagian dari kosmos yang harus selalu menjaga keseimbangan, dan keselarasan dirinya dengan alam. Konsep memayu hayuning bawana merupakan kesadaran pikir dan sikap. Dalam mewujudkan ide keutamaan diri pribadi agar sampai pada sang maha pencipta, Penguasa, dan Pengendali semesta beserta isinya, diperlukan laku olah jiwa, olah raga, dan olah rasa. Semuanya bertujuan agar manusia bisa mencapai kesempurnaan hidup.
Untuk meraih kesempurnaan hidup tadi, Sinuhun PB IV mengajarkan pamoring Kawula Gusti. Unen-unen jawa ini mengajarkan manusia untuk selalu patuh dan taat pada pimpinan, dan Sang Maha Pencipta. Dalam kehidupan sehari-hari sikap ini diterapkan pada sikap loyal, bersikap hormat, dan menunjukkan tatakrama, unggah-ungguh yang tepat.dan pada akhirnya semuanya akan terlihat sing becik ketitik sing ala ketara, titenana wong cidra mangsa langgenga dan sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti.
2.      Genetik
Pada salah satu bait di pupuh Dhandhanggula PB IV menyampaikan pesannya sebagai berikut :
Nanging yen sira ngguguru kaki,
Amiliha manungsa kang nyata,
Ingkang becik martabate,
Sarta kang wruh ing kukum,        
Kang ngibadah lan kang wirangi,
Sokur pleh wong tapa,
Ingkang wus amungkul,
Tan mikir awewehing lyan,
Iku pantes sira guronana kaki,
Sartane kawruhana,
Pitutur yang tersurat dan tersirat pada bait di atas menunjukkan bahwa kita sering tidak memperhatikan sasmita. Manusia cenderung mengikuti hawa nafsunya, penentuan keputusan lebih dikarenakan mengedepankan kepentingan diri sendiri maupun kelompoknya. Wajar bila yang terjadi kemudian adalah adanya jarak di antara pemimpin dengan yang dipimpin. Maka, menurut PB IV berhati-hatilah memilih pemimpin. Tujuannya adalah agar tercipta suatu harmoni antara pengayom, sebagai manifestasi dari Hyang Akarya Jagat dengan yang diayomi sebagai perwujudan kawula.
3.      Afektif
Serat wulangreh, semula memang hanya merupakan wulangan wewaler yang ditujukan pada putra-putra sinuhun PB IV. Kata-kata beliau di pupuh ke-13 Girisa pada bait ke-22 sebagai berikut :
Mulane sun wuruk marang,
Kabeh ing atmajaningwang,
Sun tulis sun wehi tembang,
Darapan padha rahaba,
Enggone padha amaca,
Sarta ngrasakken carita,
Aja bosen denapalna,
Ing rina wengi elinga,
Beliau berkeinginan agar para putranya itu berperilaku sebagaimana para leluhurnya. Ajaran-ajaran beliau hingga kini masih dijadikan pedoman oleh berbagai kalangan. Meskipun dalam praktiknya sering terjadi pergerseran.
 b.   Bahasa Pitutur Wulangreh dari sudut pandang masyarakat umum.
Konteks tuturan dalam serat wulangreh adalah petuah, atau pitutur yang disampaikan oleh raja kepada putra-putranya, prajurit, maupun para kawula. Waktunya tentu saja pada masa Sinuhun Pakubuwana IV bertahta (1788-1820).
Dari beberapa karya Pakubuwana IV tersebut, Serat Wulangreh merupakan karya yang sangat terkenal. Wulangreh dapat dimaknai sebagai ajaran untuk mencapai sesuatu. Sesuatu yang dimaksud dalam karya ini adalah laku menuju hidup harmoni atau sempurna di dunia dan di akhirat. Beberapa potongan tembang yang mencerminkan kutipan tersebut, yaitu :
Ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangekese durangkara yang artinya ilmu itu bisa dipahami/dikuasai harus dengan cara berusaha keras. Kokohnya budi akan menjauhkan diri dari watak angkara.
Ajaran-ajaran yang ditulis Pakubuwana IV dalam Serat Wulangreh adalah ajaran moral yang berlandaskan ajaran islam. Penyampaian ajaran yang ditawarkan PB IV berbentuk tembang dengan gaya memerintah, menasehati, melarang, dan memberi contoh pada masyarakat umum. 
 Namun pada kenyataanya sekarang ajaran-ajaran yang ditulis oleh Pakubuwana IV sudah jarang ditemui. Sebagai contoh : ajaran diri dan sikap yang diajarkan PB IV sudah hilang di kalangan masyarakat sekarang ini. Banyak masyarakat yang memiliki perilaku negatif demi tercapainya suatu keinginan yang hakiki. Hal ini sangat berlawanan pada ajaran-ajaran yang ditawarkan Pakubuwana IV dalam Serat Wulangreh tersebut. Bukan hanya itu, masyarakat pada umumnya tidak sadar akan adanya Sang Pencipta, sehingga masyarakat banyak yang melakukan hal-hal yang dianggapnya baik, namun pada kenyataannya tidak baik dan merugikan. Hal ini juga sangat berlawanan pada ajaran yang telah diberikan oleh Pakubuwana IV dan menghilangkan kebudayaan di masyarakat ada umumnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar