Senin, 26 Mei 2014

Pendidikan_Ki Nartosabdo

Ki Nartosabdho : Bambang Sakri Krama

Bambang SAKRI adalah putra tunggal Resi Sakutrem dengan Dewi Nilawati, dari pertapaan Retawu, puncak gunung Saptaarga. Ia lahir bertepatan dengan terjadinya telaga di gunung tersebut yang kemudian dikenal dengan nama Telaga Retawu.
Bambang Sakri sangat gemar bertapa dan berburu, Ia sangat sakti dan mahir mempergunakan senjata panah. Bambang Sakri menikah dengan Dewi Sati, putri Prabu Partawijaya, raja negara Tabelasuket. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang putra bernama Palasara.
Oleh ayahnya, diserahi padepokan Retawu, Resi Sakutrem kemudian menetap di pertapaan Girisarangan. Setelah Palasara dewasa, padepokan Retawu oleh Resi Sakri diserahkan kepada Palasara. Ia kemudian menetap di pertapaan Argacandi ( gunung yang wingit/angker ), salah satu dari tujuh puncak gunung Saptaarga.
Prabu Partawijaya duduk di Sitihinggil, dihadap segenap narapraja, brahmana Sabdamuni, Patih Renggabadra, permaisuri Dewi Rati dan puterinya Dewi Sakti. Sang Prabu sangat prihatin memikirkan nasib Negara Tabelasuket yang sedang ditimpa malapetaka, wabah penyakit merajalela, rakyat menderita. Kesedihan itu ditambah pula karena Dewi Sakti sudah lama kehilangan kegembiraan, lupa makan lupa tidur, bahkan pada hari itu sepatah katapun tak terucapkan. Ternyata sang putrid merindukan seorang ksatria Bambang Sakri yang hadir dalam impiannya bebrapa waktu yang lalu. Prabu Partawijaya minta pendapat Brahmana Sabdamuni, sarana apakah kiranya untuk mengatasi malapetaka yang menimpa Negara dan keruwetan yang dihadapi oleh puterinya. Sang Brahmana menyarankan agar Prabu Partawijaya pergi ke pertapaan Saptaarga, minta pertolongan kepada Resi Manumanasa, seorang pendeta yang tersohor bijaksana, suka memberi pertolongan kepada sesame manusia. Beliaulah yang dapat memberantas malapetaka yang menimpa Negara Tabelasuket. Disamping itu, ksatria yang dirindukan oleh Dewi Sakti adalah cucu Resi Manumanasa. Prabu Partawijaya senang sekali mendengar saran Brahmana Sabdamuni, maka pada hari itu juga beliau berangkat ke pertapaan Saptaarga.
Adegan padepokan Tegalbamban, sebuah desa yang subur, rakyatnya hidup aman tenteram. Sayang sekali disana ada seorang pendatang yang menamakan dirinya Resi Dwapara. Walaupun ia bergelar Resi, namun darma hidupnya jauh dari sifat seorang brahmana, bahkan sebaliknya, ia mengutamakan tindak angkara dan kejahatan. Siswa-siswanya terdiri dari para raja raksasa yang ingin mendapatkan kesaktian, sebagai senjata untuk melampiaskan hawa nafsu dan merampas hak orang lain. Semua keinginan para siswa disanggupi oleh REsi Dwapara, dengan syarat mereka harus dapat membinasakan Resi Manumanasa di Saptaarga. Salah seorang siswa bernama Jarawasesa raja Widarba, menyanggupi syarat yang diajukan oleh gurunya dan segera berangkat ke Saptaarga. Adegan ditengah hutan rimba. Dua raksasa suami isteri, Ditya Kala Haswata sedang bercakap-cakap dengan isterinya Kala Haswati. Kala Haswati sedang ngidam kepingin makan daging manusia ksatria tampan tanpa cacat kemudian  Kala Haswata menyanggupi keinginan isterinya lalu pergi mencari Ksatria yang di maksud.
Bambang Sakri sudah beberapa lama meninggalkan pertapaan Saptaarga, berkelana tiada tujuan, diikuti ketiga orang panakawan, Kyai Semas, Gareng dan Petruk. Ketika sampai dipinggir danau, mereka berhenti untuk melepaskan lelah. Para panakawan menghibur Bambang Sakri. Sedang ramai-ramainya bersendau gurau, dating Kala Haswata akan menangkap Bambang Sakri, tetapi raksasa ini engan mudah dibinasakan. Demikian juga Kala Haswati yang dapat bela pati suaminya dikalahkan oleh Bambang Sakri. Bersamaanhilangnya kedua raksasa, muncullah Batara Kamajaya dan Batari Ratih. Setelah berpesan bahwa Bambang Sakri akan segera ketemu jodohnya, kedua dewa itu kembali ke kahyangan.
Perjalanan kreta Prabu Partawijaya dari Negara Tabelasuket lewat dekat Bambang Sakri yang sedang beristirahat. Kereta berhenti dan sang Prabu turun. Prabu Partawijaya senang sekali bahwa yang dicari-cari telah ketemu. Dan Prabu Partawijaya mengutarakan maksudnya bertemu Bambang Sakri, namun Bambang Sakri tidak sanggup untuk ikut Prabu Partawijaya. Terjadi perang tanding antara Prabu Partawijaya dan Bambang Sakri, tapi Bambang Sakri tidak mampu menandingi kesaktian Prabu Partawijaya, akhirnya Bambang Sakri diboyong ke Negara Tabelasuket. Ditaman kadilengen Negara Tabelasuket, Dewi Sakti duduk menunggu kedatangan sang Ayah Prabu Partawijaya, tidak terlalu lama Prabu Partawijaya dating dengan Bambang Sakri, Ternyata Bambang Sakri tertarik dengan Dewi Sakti dan dengan waktu singkat keduanya asyik masyuk memadu cinta. Setelah merayakan upacara perkawinan antara Bambang Sakri dan Dewi Sakti. Prabu Partawijaya berangkat ke Saptaagra meminta pertolongan Begawan Manumanasa.

Dalam perjalanannya menuju Saptaarga Prabu Partawijaya kena pengaruh kesaktian Resi Dwapara, terssasar ke pertapan Tegalbamban dan menjadi korban tipu muslihat Resi Dwapara. Ia menyanggupi perintah Resi Dwapara untuk memusnahkan Resi Manumanasa. Akan tetapi kejahatan itu tidak terlaksana bahkan menjadi pertemuan kedua besan antara Prabu Partawijaya dan Bambang Satrukem, keduanya lalu berangkat ke Negara Tabelasuket. Sementara itu Dewi Sakti sudah hamil 9 bulan kemudian melahirkan anak laki-laki, Hati Bambang Sakri dan Dewi  Sakti begitu gembira. Oleh Bambang Satrukem cucunya diberi nama Parasara. Dan akhirnya diboyong ke Pertapan Sabtaarga. Akrirnya Resi Dwapara dating sendiri ke Saptaarga dan Puthut SUpalawa menyongsongnya dalam perang tanding. Resi Dwapara tidak mampu menandingi kesaktian Puthut Supalawa. Bambang Sakri banyak berjasa pada Dewata dan Suralaya. Karena itu ia mendapat anugrah gelar  Bathara. I a meninggal dalam usia lanjut. Jenasahnya dimakamkan di pertapaan Argacandi.
PUSARAN CINTA DALAM TARIAN SUFI

Semarang (23/6) gedung B1 106 FBS Universitas Negeri Semarang dipadati penonton yang ingin menikmati indahya malam dengan sentuhan puisi yang dibacakan dengan indahnya oleh Nana Riskhi dosen Bahasa dan Sastra Indonesia dan beberapa tembang Jawa yang salah satunya dilatunkan oleh Sendang Mulyana dosen Bahasa dan Sastra Indonesia menjadikan malam sunyi menjadi lebih indah dan dapat pula menjadi perenungan jiwa bagi penontonnya.
Acara “Membaca Pusaran Cinta” dibuka pukul 20.00 WIB yang diselenggarakan oleh Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia bekerjasama dengan Forum Kelompok Diskusi Morfem Bebas menampilkan Kiai Budi Harjono yang memberikan ilmu dan pengalamannya kepada mahasiswa dan penonton umum khususnya. Pria kelahiran 17 Mei 1963 tersebut membacakan beberapa judul puisi karangannya sendiri dengan isi yang begitu menyentuh dan membuat penonton terharu.
Dalam acara tersebut, penonton juga disuguhi tarian sufi yang dimainkan dengan lembutnya oleh anak-anak Pondok Pesantren Rodhatun Nikmah, Semarang. Menurut penuturan Kiai Budi Harjono dalam acara tersebut tarian sufi menggambarkan cinta kita terhadap alam semesta dan cinta kita kepada Tuhan. Setiap gerakan tari sufi memiliki makna yang menyentuh hati. “Dalam tarian sufi gerakan tangan kanan keatas memiliki simbol bahwa kita menerima nikmat dan kebahagian dari Tuhan, lain halnya dengan makna tangan kiri yang berada dibawah memiliki makna bahwa nikmat dan kebahagian tersebut dibagikan kepada sesama makhluk ciptaan Tuhan lainnya,”ujar Kiai Budi Harjono dalam penjelasannya malam itu.
Ruangan B1 106 yang terlihat penuh dengan senyuman para penonton menandakan bahwa tari sufi memiliki makna yang dalam dan keindahan dalam setiap gerakannya. Menurut penuturan Kiai Budi Harjono, pakaian yang dikenakan oleh para penari sufi merupakan kain mori yang seperti kita ketahui bahwa kain tersebut digunakan untuk jenazah. “Tari sufi sendiri merupakan tarian yang menandakan sikap pasrah atas segala nikmat dan karunia yang diberikan Tuhan kepada kita,”ucap Kiai Budi Harjono.
Novia Rahmawati, salah seorang mahasiswa Unnes menuturkan bahwa acara tersebut sangat menjadikannya lebih memaknai arti kehidupan yang sebenarnya. Menurut mahasiswa semester 6 jurusan Bahasa dan Sastra Jawa tersebut, Kiai Budi Harjono merupakan sosok seniman yang hebat dan dapat dijadikan inspirator dalam hidupnya.  

“Membaca Pusaran Cinta” ditutup oleh penampilan yang mengharukan dari Kiai Budi Harjono dengan diiringi musik dari “Langgam Selen”, penampilan tersebut telah membuat penonton menangis melalui alunan tembang yang islami dan menyadarkan penonton betapa besar peran seorang ibu kepada anaknya. 

Sabtu, 10 Mei 2014

IBU MY LIFE
Sekarang, apakah kita pernah berpikir betapa besar pengorbanan seorang ibu ? Bagaimana pahitnya segala sesuatu yang ia rasakan ketika seorang anak melakukan kesalahan dan diketahui oleh seluruh manusia. Bagaimana rasanya seorang ibu harus menahan malu untuk kesalahan-kesalahan anaknya ? Tidak semua orang punya pikiran seperti itu. Karena yang kita pikirkan adalah diri kita sendiri, kesenangan kita sendiri. Tanpa memikirkan perasaan ibu dan tidak menyadari betapa besarnya cinta yang ibu berikan kepada anaknya.
Selama ini, aku selalu ditemani ibu kemanapun aku pergi. Ibu adalah sosok orang tua yang sangat berperan dalam kehidupanku. Ibu yang selalu mengikuti kegiatanku setiap hari, pernah sewaktu aku duduk di bangku SMA sering mengeluh capek, karena kewalahan atas semua yang aku harus lakukan. Sekolah, les, dan malamnya harus belajar. Itu semua aku lakukan rutin setiap hari, aku pernah bilang kepada ibu bahwa aku tidak kuat lagi dengan kegiatanku yang membosankan itu. Aku hampir tidak pernah merasakan dunia luar.  Aku  ingin istirahat. Dan ibu adalah orang yang selalu menenangkanku. Selalu mengingatkan aku untuk bersabar. Bahkan setelah aku kuliah aku mengalami hal seperti itu lagi, aku  pernah nangis karena tugas kuliahku yang memang 'gila'. Dan waktu untuk pulang ke rumah pun rtidak ada. Ibu selalu bilang kehidupan memamng seperti itu, tidak bisa di tebak. Waktu pertama kali tinggal di luar kota untuk kuliah, rasanya berat untuk dijalani. Homesick, sering aku rasakan di awal-awal perkuliahan. Ibu selalu menyemangatiku walau dalam keadan jauh sekalipun. Terima kasih ibu….
Dan ketika aku diberikan kenikmatan dalam penyakitku, aku lemah, takut akan semua yang tidak aku inginkan. Pura-pura semangat dan kuat, itu semua hal yang paling sulit aku lakukan. Ibu selalu memberiku keyakinan bahwa penyakitku “Kelenjar Paru” akan sembuh. Operasi dilakukan dua kali dalam satu tahun. Rasanya tubuh ini sudah tidak kuat lagi. Kenapa Allah memberikan penyakit yang mengahruskan dokter melakukan operasi sampai dua kali. Operasi pertama di lakukan di tegal, waktu itu keluarga besar kumpul di RS Islam Tegal. Aku lemah ya allah, aku bingung, aku takut. Sampai aku melihat raut muka ibu yang terlihat kesakitan dengan keadaanku ini. Aku tahu ibu menderita dengan penyakitku ini. Operasi kedua dilakukan di semarang tepatnya di RS Telogorejo dan hanya kedua orang tuaku yang menemaniku waktu itu. Hampir seluruh teman-temanku tidak tahu aku operasi waktu itu. Bahkan orang yang kuanggap spesial pun tidak tahu. Rasanya campur aduk dan rasa takut muncul lagi. Ibu selalu memperlihatkan keyakinannya bahwa aku akan sembuh dari penyakit ini. Setelah operasi kedua di semarang selesai, esoknya ibu dan bapa langsung pulang ke Tegal. Ibu memelukku dan aku merasakan betapa tidak inginnya aku pisah dengan ibu.
Betapa berat perasaan yang harus aku rasakan ketika aku tahu bahwa ibu dan bapa sudah balik ke Tegal. Ibu menciumku, ibu memelukku, dan ibu berkata "jangan lupa obatnya diminum.” Ibu  pasti akan kangen sekali sama Indah. Ibu sayang sama Indah.
Ibu. Thank you for showing me you were proud me. Thank you for shaping my life